01.44

Tips Sukses Nyantri

Tidak semua orang mau hidup di pesantren, lembaga pendidikan yang sarat dengan disiplin ini. Mereka yang biasa “manja” di rumah nggak bakalan betah berlama-lama di tempat yang tak ubahnya “penjara” ini. So how if we wanna to life in pesantren? Ada nggak sih trik atau tips yang bisa membuat kita betah hidup di pesantren? Agar kita tidak lagi menganggap bahwa pesantren itu tempat menyeramkan? Tentu ada dong. Yuk kita simak bareng-bareng!


1. Pilih Pesantren Salaf Atau Modern?

Sebelum kita masuk pesantren kita harus tahu dulu pesantren model apa yang akan kita masuki. Pesantren itu ada dua macam. Atau ada dua istilah. Pertama Pesantren Salafy dan kedua Modern. Lalu apa yang dimaksud dengan Salafy dan Modern itu?

Pesantren Salafy dikenal sebagai pesantren di mana di dalamnya terdapat santri yang hanya "sekadar" belajar atau mengkaji kitab klasik atau kitab kuning alias kitab gundul saja. Mereka tidak mengenyam pendidikan formal seperti pada sekolah umum. Jadi mereka hanya belajar kitab-kitab kuning saja. Tapi seiring bergulirnya waktu dan memasuki jaman globalisasi di mana pendidikan formal sangat dibutuhkan, banyak beberapa Pondok Pesantren Salafy yang juga mendirikan sekolah formal seperti Madrasah Tsanawiyah (MTs/SMP) atau Madrasah Aliyah (MA/SMA).

Sementara pondok pesantren Modern adalah pondok pesantren yang selain santrinya belajar kitab klasik mereka juga mempelajari pelajaran umum di sekolah. Jadi seimbang antara pelajaran agama dan pelajaran umum. Selain itu para santri pondok pesantren modern juga dibekali dengan ilmu-ilmu keterampilan seperti ilmu berwirausaha, kursus keterampilan (hand skill), teater, komputer, pramuka, politik dan sebagainya. Jadi mereka kalau sudah saatnya keluar atau lulus dari pesantren nggak bakalan gagap dengan perkembangan teknologi yang sedang berkembang.

2. Luruskan Niat

Nah, ini yang kudu kita luruskan. Yaitu niat. Setiap melakukan sesuatu pasti yang terbetik pertama kali dalam pikiran kita adalah niat. Jadi untuk apa kita masuk pesantren? Apa yang kita cari di sana? Tentu yang kita cari di pesantren adalah ilmu. Jadi jangan salah niat, kita hidup di pesantren untuk menimba ilmu Allah dan untuk mengharap ridha-Nya pula. Bukan untuk mencari yang lainnya.

Dalam kitab Hidayatul Adkiya’ dijelaskan bahwa: “Barang siapa yang belajar satu bab saja dari suatu bidang ilmu maka dia akan mendapatkan keutamaan seperti shalat sunnah sebanyak seratus rakaat. Dan barang siapa yang menuntut ilmu dengan mengharap ridha Allah maka oleh Allah dia akan diberi kemudahan dalam melangkah menuju surga-Nya.” Hal ini juga ditegaskan dalam hadist Rasulullah yang berbunyi: “Barang siapa yang berjalan dalam rangka menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.” [1]

Nah, sekarang niat kita menuntut ilmu itu sudah lurus nggak? Jangan-jangan selama ini kita sekolah hanya karena paksaan orang tua atau hanya untuk mendapatkan selembar ijazah saja? Wah, jangan sampai, Fren. Kita harus ikhlas belajar karena Allah bukan karena yang lainnya.

3. Kudu Selektif Memilih Teman

Maksudnya apaan? Emang mau audisi? Maksudnya kita harus benar-benar hati-hati mencari teman di pesantren. Karena santri juga manusia yang memiliki seabrek sifat. Ada yang baik dan sebaliknya. Ada yang penyabar dan ada juga yang "brutal". Nah, lho?

Lalu bagaimana caranya menyeleksi atau memilih seorang teman? Apa kayak audisi pencarian bakat seperti AFI, KDI atau Indonesian Idol? Yang jelas lebih dari seperti itu, Bro!

Syekh Az-Zarnuji dalam kitabnya Ta’limul Mutallim menjelaskan bahwa salah satu teman yang harus kita cari adalah yang Wara’ atau orang yang selalu berusaha menghidar dari hal-hal yang berbau dosa. Jadi kalau teman kita baik maka kita akan kecipratan kebaikannya. Tapi sebaliknya kalau kita berteman dengan “wong ora genah”, yang suka ugal-ugalan misalnya, maka kita akan terkena imbas dari ketidakberesan mereka. Intinya kita harus mencari teman yang berakhlakul karimah.

Selain yang Wara’ kita juga harus mencari teman yang cerdas. Maksudnya tidak oon bin bego’. Jadi nggak “hang” (emang computer?J) waktu kita ajak ngomong. Tapi bukan berarti kita harus ninggalin teman kita yang bodoh. Tetap kita berusaha mengajak mereka atau membimbing mereka supaya tidak pernah bermalas-malasan dalam belajar.

Karena banyak sekali para santri yang perilakunya tidak baik hanya karena mereka salah gaul. Mereka masih terpengaruh oleh definisi “gaul” anak-anak muda jaman sekarang. Sehingga apa yang terjadi? Mereka yang sebelumnya di pesantren adem ayem ketika pulang ke rumah jadi brutal. Mereka dengan tanpa bersalah meninggalkan status kesantrian-nya setelah mereka berada di rumah atau luar pesantren. Naudzubillah!

4. Dekati Guru atau Ustadz

Bergaul di pesantren tentu bukan hanya bergaul dengan para santri saja. Dengan guru atau Ustadz pun kita juga harus “dekat”. Maksudnya ketika kita mengalami kesulitan-kesulitan dalam pelajaran kita bisa tanya langsung kepada mereka. Begitu juga ketika kita ada masalah misalnya. Kita coba komunikasikan kepada guru dengan harapan mereka bisa mencarikan solusi dari masalah yang kita hadapi. Dengan begitu hubungan antara guru dan santri seperti hubungan orang tua dengan anak. Jadi nggak perlu sungkan-sungkan karena dalam agama para Ustadz itu adalah orang tua bagi seorang murid. So, dekat sama guru? Why not?

Tapi kita juga harus hati-hati. Jangan sampai kedekatan kita dengan guru menimbulkan fitnah. Maksudnya kudu hati-hati kalau kedekatan itu antara santri dan Ustadzah atau sebaliknya seorang santriwati dengan seorang Ustadz. Ini untuk menghindari sesuatu yang tidak kita harapkan. Karena tidak menutup kemungkinan komunikasi yang sangat intens di antara mereka akan menimbulkan “perasaan lain” dalam hati mereka. Karena kita manusia normal. Jadi khawatir ada “getar-getar aneh” yang tiba-tiba menyelinap dalam hati kita. Jadi sinetron banget kan? Ya, iya lah! Pasti kamu jadi ingat dengan film Cintaku di Kampus Biru yang mengisahkan kisah cinta antara mahasiswa dan dosennya. Nanti bisa jadi ada film Ustadzku Arjunaku. Ih…, nggak banget deh! Lalu apa kata dunia?J

5. Pilih Aktifitas yang Menyenangkan

Pada dasarnya hidup di pesantren itu sangat menyenangkan. Mereka yang mengatakan hidup di pesantren itu bikin boring, bete dan sebagainya itu adalah mereka yang terbiasa hidup manja di rumah. Mereka tidak mau belajar mandiri. Padahal hidup di pesantren itu segala sesuatunya kudu dikerjain sendiri. Dari urusan cuci mencuci baju, menyetrika baju dan sebagainya. Semua dilakukan sendiri. Sehingga kita akan sadar. “Oh, begini ya ternyata hidup mandiri dan jauh dari orang tua?”

Selain kegiatan belajar formal di kelas atau mengaji di masjid, ada banyak kegiatan non formal yang bisa menghilangkan rasa bete di hati. Atau akan mengusir rasa homesick yang tanpa kita sadar datang secara tiba-tiba. Seperti olah raga, kursus, diskusi dan yang lainnya. Jadi pikiran kita akan fress tanpa ada sedikit pun beban stress.

Kegiatan berorganiasasi pun menjadi salah satu kegiatan santri untuk belajar tentang kepemimpinan. Baik di OSIS atau di organiasasi kepramukaan. Kita tinggal memilih kegiatan apa yang kita minati. Biasanya salah satu kegiatan ekstra kurikuler yang banyak diminati santri adalah pramuka. Karena di pramuka pengalaman mereka akan bertambah. Misalkan santri yang aktif dan berprestasi akan dikirim ke berbagai event kepramukaan seperti Jambore Daerah (JAMDA) dan Jambore Nasional (JAMNAS) bagi pramuka tingkat Penggalang atau Raimuna Daerah dan Raimuna Nasional bagi Penegak. Atau bahkan mereka yang benar-benar berprestasi akan dilegasikan untuk mengikuti JAMDUN alias Jambore Dunia. Hebat kan…? Jadi meskipun kita hidup di pesantren kita nggak bakalan kuper dengan perkembangan dunia luar.

6. Patuhi Disiplin Pesantren

Sekali lagi disiplin yang ditegakkan di pesantren semata-mata untuk kepentingan para santrinya itu sendiri. Kita nggak bisa membayangkan kalau seandainya ada sebuah pesantren yang tidak ada disiplinnya. Misalkan membolehkan santrinya merokok, memanjangkan rambut, keluar kompleks pesantren tanpa ijin dan sebagainya. Tentu santrinya bakal amburadul karena akan berbuat seenak hatinya sendiri.

Memang, sebagai manusia kita nggak bakal lepas dari khilaf dan lupa. Sewaktu-waktu pasti kita akan teledor dan tidak menutup kemungkinan akan melanggar salah satu disiplin pesantren. Rutinitas yang bagi sebagian santri sangat membosankan itu akan menyebabkan mereka lalai dan dengan sengaja melanggar disiplin. Misalkan kita tidak mengikuti shalat jamaah atau terlambat masuk kelas. Itu salah satu bentuk pelanggaran ringan yang biasa dilanggar oleh sebagian santri.

Tapi sebisa mungkin kita berusaha untuk tidak melanggar meskipun itu pelanggaran ringan. Karena kalau kita sudah terbiasa dengan melanggar disiplin maka kita akan terbiasa melanggar disiplin yang lainnya. Naudzubillah jika sampai melanggar disiplin yang sifatnya syar'ie. Misalkan mencuri, ghasab dan sebagainya. Biasanya pihak pesantren akan bertindak tegas jika ada santri yang melanggar disiplin yang sifatnya syar'ie ini. Karena itu sudah menyangkut syariat. Jika dibiarkan akan menjadi tabiat jelek yang akan melekat pada diri santri.

7. Jangan Jadi Santri Pemalas

Kegiatan pesantren yang seabrek dan disiplin yang sangat ketat hampir membuat seluruh santri bosan dengan rutinitas yang mereka laksanakan. Bayangkan, pagi-pagi buta tepatnya pukul 03.00 WIB mereka sudah harus bangun untuk melaksanakan shalat tahajud di masjid. Membaca al-Qur'an kemudian shalat shubuh berjamaah. Setelah shubuh mereka pun harus sudah siap-siap untuk mengikuti kegiatan pengajian kitab yang dibagi menjadi beberapa kelompok. Nggak kebayang kan bagaimana mereka yang tidak terbiasa bangun tengah malam lalu harus bangun tengah malam untuk melaksanakan shalat tahajud? Pasti mereka merasa capek, ngantuk dan semacamnya.

Ini yang membuat sebagian santri menjadi bosan dan malas untuk mengikuti disiplin. Sehingga tak jarang mereka selalu mencari alasan untuk tidak mengikuti disiplin. Dengan pura-pura sakit misalnya (di pesantren dikenal dengan istilah "nyakit"). Biasanya ini mereka lakukan untuk tidak mengikuti kegiatan pramuka, Muhadharah (latihan retorika/pidato) dan kegiatan lain yang kurang disukai santri.

Sebenarnya sifat malas inilah yang harus kita buang dari diri kita kalau kita ingin sukses hidup di pesantren. Kita harus kembali pada niat awal kita masuk pesantren. So, gimana kita akan meraih apa yang kita inginkan di pesantren kalau kita sendiri saja sudah ogah belajar plus emoh mengikuti kegiatan yang sangat sayang untuk kita tinggalkan. Padahal kalau kita menganggap disiplin itu untuk kepentingan kita dan kita berusaha mencintai kegiatan demi kegiatan yang ada, maka kita akan tenang hidup berdisiplin. Tanpa harus dibayang-bayangi perasaan takut apalagi hanya oleh disiplin yang nggak "serem-serem" amat itu.

So, jadilah santri yang mujtahid, yang selalu enerjik dan santai menghadapi disiplin pesantren. Buang rasa malas yang hanya akan merugikan kita di pesantren. Karena sebenarnya banyak waktu yang mestinya kita gunakan untuk belajar dengan serius.

8. Jangan Sampai Pedang itu Memenggal Lehermu

The Time is Money. Begitu orang Barat mengibaratkan waktu. Ya, waktu adalah uang. Mereka akan merasa seperti kehilangan milyaran rupiah jika tidak bisa memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya. Makanya orang-orang Barat rata-rata workaholic alias gila kerja. Tidak ada waktu bagi mereka untuk bermalas-malasan. Beda dengan kita orang Indonesia yang dikenal dengan sifat malasnya. Ini bukan basa-basi. Saya pernah membaca hasil wawancara sebuah surat kabar dengan seorang muallaf Jepang yang jago silat, Kyoko Soda. Dia mengatakan, kalau seandainya orang Indonesia tidak malas-malas, maka tidak akan ada lagi istilah korupsi di Negara kita yang gemah ripah loh jinawi ini. Nah, malu kan kalo kita dibilang pemalas?

Sedangkan orang Arab mengibaratkan waktu dengan sebilah pedang. Sebagaimana dalam syair berikut:

"Waktu itu seperti pedang

Maka gunakanlah sebaik mungkin

Karena jika tidak maka

Pedang itu yang akan memotong tanganmu."

Jadi benar apa yang dikatakan mereka, bahwa pedang itu bisa memotong tangan kita bahkan bisa memenggal leher kita. Maksudnya, kalau kita sudah lalai dengan waktu yang ada maka jangan harap kita akan mendapatkan apa yang kita harapkan. Tapi sebaliknya, kalau kita bisa menggunakan waktu sebaik mungkin maka hidup kita akan terkontrol. Seperti di pesantren yang semua kegiatan sudah dijadwal khusus dan ditandai dengan bunyinya jaras (bel). Waktu mandi dibunyikan bel, masuk kelas, keluar kelas, acara pramuka dan lain sebagainya akan selalu diawali dengan berdentangnya bunyi bel. Sehingga dulu ketika saya masih nyantri, kami dijuluki dengan "Manusia Bel". Habis, hidup di pesantren selalu diatur dengan bunyi bel.

9. Hindari "Virus-virus" di Pesantren

Wah, kok kayaknya serem banget ya? Masa' di pesantren itu ada virusnya juga? Memangnya virus apaan? HIV, Flu Burung?:-)

Yap, pesantren seperti halnya tempat lain di luar pesantren sangat rentan dan rawan dengan adanya "virus" yang bisa menjangkiti para santri. Pengin tahu virus apa saja? Makanya jangan buru-buru kamu tutup buku ini!

a. Virus Ghasab

Ghasab. Makhluk apaan lagi tuh? Ghasab artinya memakai atau menggunakan hak milik orang lain tanpa seijin yang empunya. Emang di pesantren ada yang begituan? Ya, namanya hidup bersama di bawah satu atap pesantren pasti lah kita bakal menghadapi masalah seperti ini. Kadang kebiasaan ini dianggap hal yang sepele oleh santri. Padahal itu jelas tidak boleh dan agama kita melarang untuk "menyerobot" sesuatu yang bukan hak milik kita.

Misalnya memakai sandal teman kita di depan asrama. Emang sih kita mungkin cuma mau ke dapur atau sekadar ke kamar mandi untuk sikat gigi. Tapi kalau yang empunya sandal juga mau keluar dan tiba-tiba saja sandalnya sudah raib bagaimana? Pasti yang punya sandal bakal marah dan mencak-mencak seperti kehilangan emas bergram-gram. Pasti kita bakalan kena damprat. Belum lagi kalau sampai perbuatan kita dilaporkan kepada pihak "berwajib" alias keamanan pesantren. Jangan harap kita akan lepas dari sanksi yang bakal dijatuhkan pada kita. Nah, kena getah dua kali kan?

Makanya ada baiknya kalau kita ijin dulu kepada orang yang akan kita pinjamin barangnya. Jangan sampai main "ngepot" saja. Mentang-mentang teman sekamar atau teman sekelas. Mereka juga manusia, lho!

b. Virus "Panjang Tangan"

Selain Ghasab virus yang ada di pesantren juga virus panjang tangan alias mencuri. Duh, kok semakin parah sih? Katanya santri kok nyolong?

Sekali lagi hidup di pesantren itu nggak semudah yang kita bayangkan. Kita akan menemukan fenomena-fenomena atau kejadian yang akan membuat kita geleng-geleng kepala tidak percaya.

Di pesantren sering kali ada kasus pencurian. Bukan hanya oleh maling yang menyamar masuk ke pesantren. Tapi ini dilakukan oleh santri sendiri. Kok bisa? Ya, ini adalah salah satu perbuatan santri yang harus benar-benar ditumpas di pesantren. Jangan sampai kebiasaan mereka mencuri dibiarkan begitu saja tanpa ada tindakan tegas dari pihak pesantren. Mereka harus benar-benar mendapat perhatian khusus agar tidak lagi merajalela dengan kebiasaan buruk mereka.

Di sini pentingnya tarbiyah atau pendidikan moral bagi santri. Sehingga santri tidak memiliki akhlakul madzmumah (budi pekerti jelek).

c. Virus "Merah Jambu"

Virus apa lagi tuh? Kok pake virus merah jambu segala? Ya, ini salah satu virus yang selalu menghinggapi santri yang sudah memasuki masa pubertas. Virus merah jambu alias "virus cinta".

Sebenarnya rasa yang satu ini adalah hal yang wajar karena itu salah satu fitrah yang dimliki oleh manusia. Kita nggak bisa membayangkan kan kalau seandainya dalam hati kita tidak ada fitrah yang satu ini? Kita nggak bakal bisa mencintai atau menyayangi orang tua, kakak atau adik, sahabat, teman dan pasangan kita kelak? Allah memberikan rasa ini supaya hati kita terasa damai oleh rasa yang memang seharusnya ada pada setiap diri manusia.

Tapi naluri ini justru akan menjadi "bumerang" jika hinggap pada remaja yang masih dalam masa belajar. Apalagi pada diri santri yang jelas-jelas tidak bisa seenaknya "mengeksploitasi" perasaan ini. Karena cinta seyogyanya datang pada diri seseorang yang memang sudah saatnya untuk memilikinya dan bisa bertanggung jawab atas rasa yang dimilikinya. Misalnya pada sepasang suami istri yang memang sudah saatnya untuk "bermain-main" dengan cinta.

Tapi bagaimana kalau rasa ini benar-benar hinggap pada diri santri?

Sekali lagi, santri juga manusia. Rasa cinta dan sejenisnya pasti juga akan dirasakan oleh mereka. Tapi kita juga harus tahu bahwa kita (para santri) harus menyadari kalau tugas kita di pesantren adalah belajar. Jadi tidak ada waktu untuk bermain-main dengan rasa yang satu ini. Yang perlu kita lakukan adalah menjaga dan memelihara agar rasa ini tidak "terkotori" dan kelak bisa kita "menyalurkan"-nya jika sudah tiba pada saatnya untuk memilikinya.

Inilah sebenarnya tugas pihak pesantren untuk tetap menegakkan undang-undang anti pacaran di pesantren. Agar para santri tetap selalu berhati-hati agar tidak mudah tergiur dengan "propaganda" yang ada. Apalagi dengan maraknya media yang selalu mengeksploitasi adegan yang serba permisif.

Salah satu contoh adalah tayangan sinetron yang selalu mengeksploitasi "siswa-siswi bau kencur" untuk beradegan mesra. Padahal jelas mereka masih berada di bangku sekolah SMP bahkan SD. Yang masih belum waktunya untuk memikirkan hal-hal yang berbau cinta. Mereka para insan pertelevisian di negeri ini seolah-olah hanya mementingkan segi komersil dari tayangan yang mereka suguhkan. Tanpa memikirkan bahwa tayangan mereka sangat besar pengaruhnya bagi remaja kita.

10. Jangan Lupa Berdoa

Setiap apa saja yang kita harapkan di pesantren tentu akan tercapai jika kita serius menjalaninya. Misalkan kita ingin mendalami bahasa Arab atau Inggris, insya Allah kita akan lancar ngomong dua bahasa tersebut jika kita berusaha sekuat tenaga untuk mendalaminya. Karena sekali lagi, ada banyak waktu yang bisa kita manfaatkan untuk mengekspresikan bakat yang kita miliki. Untuk membuktikan bahwa kita sebagai santri juga bisa berprestasi di bidang apa saja.

Di bidang tulis menulis misalnya. Kita bisa bergabung dengan sanggar atau komunitas yang merekrut khusus para santri yang cinta dunia tulis menulis. Apalagi sekarang sudah banyak organiasasi kepenulisan yang masuk ke pesantren seperti Sanggar Sastra Remaja Indonesia (SSRI) yang dibentuk oleh majalah sastra Horison atau Forum Lingkar Pena (FLP). Jadi, santri juga bisa jadi penulis lho!

Tahu Habiburrahman el Syirazy kan? Penulis yang naik daun lewat novel fenomenal Ayat-Ayat Cinta ini dulu juga seorang santri sebelum meneruskan study-nya ke Al Azhar University, Cairo. Berkat kecintaannya di bidang tulis menulis Kang Abik akhirnya bisa melahirkan karya yang menyita perhatian pencinta novel Islami hampir di seluruh pelosok tanah air. Apalagi setelah novel ini difilmkan beberapa waktu lalu. Orang-orang yang selama ini menganggap gedung bioskop sebagai "tempat maksiat" pun saling antri berdesak-desakkan demi untuk menonton film besutan sutradara muda Hanung Bramantyo tersebut. Beberapa teman di pesantren yang belum pernah membaca novel ini pun penasaran setelah sondtrack film Ayat-Ayat Cinta sempat menjadi Top Hits di beberapa radio swasta di Sumenep. Padahal novel ini sudah terbit tiga tahun yang lalu.

Kita bisa juga kok mengikuti jejak kesuksesan Kang Abik. Apalagi banyak sekali ide yang berserakan di sekitar kita terutama di pesantren yang bisa kita angkat menjadi bahan tulisan. Seperti Akhmad Makmun Affani (Santri Gontor) dengan novel Adzan Subuh Menghempas Cinta: (Ketika Santriwati Tersentuh Asmara) atau Ana FM (Santri Annuqayah, Sumenep) dengan novelnya Samudera Hati dan Cinta Lora (baca;Gus). Mereka memungut ide-ide novel tersebut dari kehidupan sehari-sehari santri di pesantren. So, santri jadi penulis? Siapa takut?

Tentu saja selain usaha yang kita kerahkan kita juga butuh doa untuk mencapai apa yang kita cita-citakan. Karena dengan berdoa, bermunajat kepada Allah segala urusan kita akan dipermudah oleh-Nya. Bukankah doa itu senjata orang Mukmin? Dan jangan lupa doakan juga orang tua di rumah yang dengan susah payah mencari biaya pendidikan kita selama kita di pesantren. Agar mereka diberi kemudahan dan kelancaran dalam mencari rejeki. Serta kesabaran dalam menghadapi dinamika hidup yang sarat dengan tantangan dan cobaan ini. Oke, Bro. Selamat mencoba ya! Semoga kita bisa menjadi santri yang kreatif, inovatif dan berprestasi! Amien….

***

Sumenep, Maret 2008



[1] HR. Bukhari

01.38

Nikah Dini; Katanya Sih Keren?

Saya pernah menjadi konsumen berat buku-buku dengan tema pernikahan. Buku-buku yang mengupas tuntas seluk beluk kehidupan rumah tangga itu menjadi “makanan empuk” saya selama beberapa minggu. Entah itu saya pinjam dari perpustakaan pesantren, pinjam dari teman atau saya beli sendiri di toko buku ‘Mutiara Ilmu’ langganan saya. Anehnya saya tidak pernah bosan. Semakin banyak saya “lahap” buku-buku itu saya justru semakin “lapar” dengan buku-buku sejenis. Dari buku Indahnya Pernikahan Dini-nya Moh. Fauzil Adhim sampai buku Ini Rumah Kita, Sayang-nya Gola Gong-Tyas Tatanka atau Ini Wajah Cintaku, Honey-nya Tasaro. Padahal selama ini buku yang saya baca tidak jauh dari seputar tema tulis menulis. Buku-buku sastra baik itu novel atau kumpulan cerpennya rekan-rekan Forum Lingkar Pena (FLP) yang pernah booming beberapa tahun yang lalu itu.

Ada apa dengan saya? Apakah memang sudah saatnya saya untuk mempersiapkan diri untuk melangkah menuju mahligai kehidupan rumah tangga yang kata sebagian teman--yang sudah menikah--penuh dengan dinamika dan problem yang tak jarang membuat oleng biduk rumah tangga yang mereka kayuh?

Saya pun merasa “terprovokasi” untuk menikah dini apalagi setelah membaca buku Nikah Dini Keren-nya Haekal Siregar. Memoar yang mengisahkan kehidupan rumah tangga sang penulis dan istrinya itu pernah membuat saya terobsesi untuk menikah dini seperti yang dialami beberapa teman seangkatan saya di pesantren. Saya jadi membayangkan seperti apa sih nikmatnya nikah dini yang mereka gembar-gemborkan itu? Padahal asli saya belum memiliki persiapan apa-apa untuk melangkah ke sana. Mental apalagi secara finansial yang jelas membutuhkan perjuangan ekstra bagi calon pemimpin rumah tangga. Seorang nahkoda yang bakal mengendalikan laju biduk rumah tangga bersama sang belahan jiwa. Bagaimana kita mau menafkahi istri kalau kondisi materi kita saja “acakadut”? Walaupun masalah rejeki itu urusan Allah tapi kita tetap punya andil untuk berusaha menjaring rejeki yang telah dipersiapkan oleh-Nya. Tidak bisa kalau kita hanya berpangku tangan mengharap ada segepok emas jatuh di depan kita.

Masalah nikah dini sebenarnya bukan hal yang baru. Pada jaman Bapak-Ibu kita dulu masalah nikah dini sudah menjadi hal yang lumrah. Coba kita tanya Bapak atau Ibu kita; di usia berapa mereka menikah? Mereka banyak yang menikah di usia yang masih relatif muda. Padahal dari segi materi mereka masih “nebeng” pada orang tua. Bukan berarti mereka tidak siap mandiri. Tapi orang tua mereka dulu belum berani melepas anak mereka untuk total pisah dengan orang tua. Apalagi menantu mereka masih belum "mapan" secara ekonomi. Walaupun secara secara tidak langsung mereka mendidik anaknya untuk hidup mandiri dengan memberikan mereka jalan untuk mencari nafkah. Untuk siap memeras keringat demi kelangsungan hidup keluarga mereka.

Tapi walaupun masih hidup di pondok mertua indah, mereka tetap optimis melangkah, mengarungi bahtera kehidupan rumah tangga meskipun tak jarang badai datang menghadang dan siap menghantam mereka.

Bicara masalah nikah, saya jadi ingat waktu Bapak dan Ibu sering “nagih janji” kapan saya mau menikah. Kapan saya bisa membawa ke hadapan mereka calon menantu yang tentu akan menyempurnakan kebahagian mereka sebagai orang tua. Karena saya bungsu dan kakak-kakak saya sudah menggenapkan separuh dien mreka.

Saya hanya tersenyum simpul setiap mereka membahas masalah kapan saya nikah. Sambil saya coba berargumen untuk sekadar berkelit dari pertanyaan mereka.

“Saya masih belum punya pekerjaan tetap, Pak. Jadi tenang sajalah. Bapak nggak usah khawatir. Bagaimana nanti saya mau menafkahi istri kalau hidup sendirian saja masih luntang-lantung seperti ini?” Itu senjata saya untuk “melawan” serangan yang bapak lancarkan. Walaupun terdengar sangat klise. Karena itu adalah alasan umum kenapa seorang laki-laki bimbang menikah. Tapi mau bagaimana lagi? Saya sudah “bosan” dengan topik masalah yang mereka bahas setiap saya pulang ke rumah.

“Kalau kamu nunggu sampe kamu atau bapak kaya, mungkin sampe tua pun kamu nggak bakalan nikah!” Jawab Bapak singkat. Santai tapi tegas. Namun sanggup membuat dada saya bergemuruh dan pikiran saya tidak tenang. Jika dipikir-pikir apa yang beliau katakan benar juga. Beliau termasuk jajaran pemuda desa yang menikah dini karena saat menikah dulu usianya masih belum genap dua puluh tahun. Tapi beliau tetap bisa menafkahi istri dan anak-anak beliau meskipun dengan perjuangan dan perngorbanan yang sangat melelahkan. Sementara umur saya sekarang berapa? Dari segi usia mungkin sudah waktunya. Tapi saya punya alasan sendiri kenapa saya menunda waktu menikah. Saya masih belum siap lahir batin untuk menyempurnakan separuh agama saya. Saya yakin Allah juga berperan penting dalam masalah saya ini.

Walaupun saya sadar, mungkin saya saja yang terlalu ‘parno’ alias paranoid. Takut kelak tidak bisa menafkahi anak orang jika saya memutuskan untuk menikah. Padahal apa bisa saya? Bukankah yang mengatur semua laju kehidupan dunia ini hanya Allah? Kita tidak bisa memprediksi apa yang bakal terjadi besok. Karena masalah rejeki, kematian dan jodoh adalah hak prerogatif Allah. Sebagai hamba-Nya kita hanya dituntut untuk berusaha. Itu saja! Wallahu a’lamu bis shawab.

***

Kamar Bujang, 25 Februari 2008

01.29

Santri Jatuh Cinta

Saya termasuk orang yang cukup lama hidup di pesantren. Hampir dua belas tahun saya menikmati "asam garam pesantren" di lembaga pendidikan Islam tradisional ini. Enam tahun sebagai santri dan hampir enam tahun sebagai Murabbi (pendidik).

Berbagai macam peristiwa saya saksikan bahkan saya alami sendiri di tempat yang kata sebagian teman tak ubahnya "penjara" ini. Dari pelanggaran-pelanggaran disiplin sampai pembangkangan seorang santri terhadap seorang Ustadz. Semua saya rekam dan saya catat hingga saat ini.

Dan ketika saya selama lima tahun terakhir diberi tanggung jawab untuk mengajar dan mendidik para santri, saya baru menyadari betapa beratnya jadi seorang pendidik. Guru, Ustadz atau apalah namanya adalah sosok yang digugu dan ditiru. Mereka adalah teladan dan panutan bagi murid-muridnya. Saya setuju dengan sebuah ungkapan yang menyatakan: "Guru kencing berdiri, murid kencing berlari." Maksudnya, seorang murid tidak hanya akan meniru perilaku buruk guru, tapi mereka bisa melakukan sesuatu yang jauh lebih buruk dari perilaku seorang guru.

Sekitar lima atau sepuluh menit menjelang pergantian jam pelajaran, saya biasa membuka "dialog ringan" dengan anak-anak didik saya. Dari masalah dunia Islam sampai masalah remaja yang sedang populer. Namun yang membuat suasana kelas semakin "hidup" adalah ketika kami membahas masalah lima huruf yang tak pernah ada habisnya. C-I-N-T-A. Ya, masalah ini selalu menjadi topik hangat dan menarik untuk didiskusikan. Hingga pada suatu ketika sebuah pertanyaan meluncur mulus dari mulut seorang santriwati. Sebuah pertanyaan yang menohok dan jujur sempat membuat hati saya "kebat-kebit".

"Ada tidak Ustadz yang pacaran?"

Untuk beberapa detik saya tertegun. Sampai sebuah pertanyaan lain menyusul.

"Kalau tidak pacaran, mana mungkin Ustadz Fulan dengan Ustadzah Fulanah bisa menikah?"

Dua pertanyaan itu sama sekali di luar dugaan saya. Baru kali ini ada seorang santri yang berani menanyakan sesuatu yang dianggap “tabu”. Sebuah pertanyaan yang menguji nyali kejujuran saya.

Akhirnya saya coba menjawab pertanyaan “cerdas” itu. Saya jelaskan, bahwa saya--termasuk Ustadz yang lainnya--sebagai manusia biasa pasti pernah merasakan ada pendar-pendar cinta dalam hati saya. Sebuah rasa yang dengan sendirinya hadir tanpa seorang pun yang menyuruhnya. Apalagi selama saya menjadi santri interaksi antara santri dan santriwati waktu itu cukup rentan akan terjadinya “hubungan” sebagaimana yang terjadi pada remaja di luar pesantren (waktu itu kelas putra dan putri masih digabung).

Bagaimana pun, santri juga manusia. Allah juga menganugerahkan cinta kepada mereka. Perasaan yang alami dan manusiawi. Namun, dilarangnya berpacaran di pesantren sama sekali bukan untuk “mengebiri” atau membunuh perasaan cinta dalam hati para santri. Tapi semata-mata untuk menyelamatkan mereka agar tidak terperangkap dalam "jaring-jaring cinta" yang bisa menghancurkan masa depan mereka, jika mereka menyalurkan perasaan fitrah itu bukan pada tempat dan waktunya. Bukankah sekolah dan pesantren tempat mereka belajar, bukan tempat berpacaran?

Nah, tugas seorang Murabbi lah untuk menyelamatkan mereka agar tidak pernah diperbudak cinta. Agar “virus merah jambu” itu tidak menyebar ke lingkungan pesantren. Jadi, jangan harap santri tidak pacaran kalau guru/Ustadz-nya sendiri masih belum bisa menjaga hati mereka. Wallahu a'lam.

***

Sumenep, Januari 2008

00.11

Korban Surat Cinta

Ada satu disiplin bagian keamanan di pesantren yang sangat “ditentang” oleh hampir semua santri. Jika pesantren melarang seluruh santri untuk tidak keluar kompleks pesantren tanpa seizin dari pengurus atau melarang santri merokok yang dapat merugikan kesehatan dan juga kanker alias kantong kering, itu mungkin bisa dipatuhi oleh santri walau masih banyak yang secara sembunyi-sembunyi melanggar disiplin ini. Misalkan untuk merokok mereka mencari tempat “aman” untuk mengisap benda penuh nikotin tersebut. Meskipun mereka harus siap menerima sanksi jika mereka tertangkap basah oleh “pihak berwajib” pesantren.

Tapi disiplin yang satu ini sungguh telah membuat santri merasa terganggu kerena masalah privacy-nya telah di-handle pihak pesantren. Emangnya disiplin apa? Pesantren melarang santri berhubungan lain jenis atau PACARAN. Disiplin inilah yang membuat para santri seperti kehilangan jenggot ketika pihak bagian keamanan merampas photo cewek atau surat cinta para santri yang mempunyai hubungan khusus dengan kaum Hawa.

Alasan pesantren menegakkan disiplin ini memang logis. Pihak pesantren tidak mau para santri merasa terganggu dengan hal "remeh-temeh" seperti pacaran. Yang akan membuat konsentrasi mereka untuk belajar terganggu. Tapi yang namanya santri tetap saja dalam hati mereka timbul gelegak pemberontakan. Itu wajar, karena rata-rata usia santri sudah memasuki fase remaja atau pubertas. Emangnya kenapa kalau pubertas? Ya, sebagaimana kita ketahui di masa-masa seperti ini para santri—sebagaimana remaja pada umumnya—ingin mencoba sesuatu yang belum pernah mereka alami. Salah satunya adalah “pacaran”. Sehingga tak jarang di usia ini mereka sudah mulai TP alias Tebar Pesona di depan para cewek. Dengan gaya yang tentu maskulin banget.

Ketika duduk di kelas 3 Madrasah Tsanawiyah saya pernah merasakan ada “pemberontakan” yang sama seperti yang dirasakan santri yang lain. Saya merasa tidak terima jika pihak pesantren ikut campur masalah pribadi saya.

Inilah awal di mana saya berani melanggar disiplin bagian keamanan yang jika tertangkap basah maka sanksinya cukup berat. Kalau tidak membaca surat pernyataan di depan santri dan guru-guru, kepala dibotak atau bahkan diskors dari pesantren.

Ceritanya saya “tertarik” pada teman sekelas. Entah, saya juga tidak tahu kenapa perasaan itu muncul ketika pesantren sedang berusaha memberantas tradisi pacaran di pesantren? Saya hanya berpikir mungkin ini hal yang wajar dirasakan oleh remaja seusia saya. Di mana kata para psikolog di usia ini para remaja selalu ingin bereksperimen atau ingin mencoba sesuatu yang baru. Sesuatu yang belum pernah mereka lakoni.

Saya berusaha mencari akal bagaimana supaya bisa mengungkapkan "perasaan aneh" dalam hati ini kepada "sang target". Menyampaikan secara langsung di depannya itu tidak mungkin karena kelas kami waktu itu terpisah. Saya di kelas A sementara dia di kelas B, kelas khusus santri putri kelas III. Saya sudah membayangkan hal yang bukan-bukan. Dengan apa saya akan mengungkapkan perasaan ini? Apa dengan seikat bunga seperti adegan dalam sinetron televisi itu? Ah, sinetron banget!

Akhirnya saya ada ide. Salah satu cara yang aman adalah; saya harus "menyewa" teman untuk menjadi “Mak Comblang”. Saya pikir hanya cara ini yang pas dan dijamin aman. Setelah surat selesai saya buat saya pun mengontrak seorang teman untuk menjadi pak pos yang akan menyerahkan “surat cinta monyet” saya kepada santriwati “inceran” saya.

“Tapi ada biaya prangko-nya, nggak?” kata teman saya menggoda. Prangko yang dimaksud adalah tip atau imbalan buat dia yang sudah nekat kuncluk-kuncluk ke kelas putri dengan alasan meminjam buku atau alasan yang lainnya. Itu sih urusan teman saya. Yang penting surat saya sampai ke tangan si doi.

“Tenang saja, Bro. Yang penting sukses ente bakal saya traktir di kantin.” Iming-iming saya pada teman yang PEDE melangkah ke kelas putri itu.

Dan beres! Surat sudah di tangan si doi. So, tinggal bagaimana menunggu reaksinya setelah membaca surat saya itu.

Dengan perasaan yang tidak tenang saya dengan sabar menunggu surat balasan dari dia. Satu hari. Dua hari. Tiga hari. Surat balasan yang saya tunggu tidak kunjung datang. Apa dia menolak saya? Tapi paling nggak kan surat saya dibalas supaya saya tidak penasaran seperti ini. Saya mulai bingung dan pusing sendiri. Berbagai macam pikiran mulai berseliweran dalam benak saya. Apa surat itu ketangkep bagian keamanan putri? Ah, nggak! Itu tidak mungkin. Saya berusaha membuang jauh-jauh perasaan khawatir dari hati saya.

***

Beberapa hari setelah surat saya tak kunjung dibalas. Pagi-pagi benar setelah pengajian kitab kuning saya mulai siap-siap dengan aktifitas pesantren. Saya waktu itu sudah hendak ke kamar mandi lengkap dengan peralatan mandi di tangan ketika salah seorang teman dari kamar sebelah datang.

“Kamu dipanggil Ustadz Bahri di kantor, sekarang….” Ujar teman saya seraya kembali ke kamarnya. Ustadz Bahri? Itu kan wali kelas saya? Ada apa pagi-pagi memanggil saya?

Saya langsung ganti baju resmi lengkap dengan sarung dan peci. Dengan sedikit perasaan dag-dig-dug saya berangkat untuk menemui wali kelas saya di kantor. Saya baru saja menjejakkan kaki tepat di serambi kantor ketika pandangan saya bersirobok dengan seorang santri putri di dalam kantor. Di dekatnya ada seorang Ustadzah. Ada apa ya? Kok perasaaan saya jadi tidak tenang seperti ini?

“Kamu tahu kenapa saya panggil?” Tanya Ustadz dengan gaya wibawanya.

Afwan, saya tidak tahu.”

Suasana hening sejenak. Saya hanya mampu menekuri ubin kantor dengan perasaan was-was.

“Kamu benar pernah mengirim surat ke salah seorang santri putri?”

DEGG!!!

Saya seperti disambar petir di siang bolong. Saya hanya menunduk mendengar pertanyaan Ustadz dengan suara datarnya itu. Surat itu? Ah, mati aku!

“Kok diam?”

“Hm…hm… benar, Ustadz….” Saya mulai gugup. Saya tiba-tiba saja seperti mengidap penyakit gagap. Tidak mungkin saya berbohong karena jika saya berbohong masalahnya akan semakin runyam. Biar saja lah mungkin memang sudah nasib saya.

“Kamu tahu kalau ini dilarang di pesantren? Kau juga tahu apa hukuman bagi santri yang melanggar disiplin ini?”

Lagi-lagi saya menunduk sambil sesekali mengangguk.

“Karena ini adalah surat perdana kamu dan belum terbukti kalau kamu mempunyai hubungan khusus dengan santri putri. Maka sanksinya adalah; kamu cukup membuat surat pernyataan kepada direktur pesantren. Tanpa dibacakan di depan para santri….”

Beberapa saat kemudian saya diijinkan keluar. Alhamdulillah. Saya bersyukur karena sanksinya tidak begitu berat. Saya sudah membayangkan rambut di kepala saya akan hilang. Tapi ternyata? Ustadz memberi keringanan. Di mana kasus ini tidak akan tersebar ke seantero pesantren karena saya hanya membuat pernyataan kepada direktur tanpa membacakannya di depan para santri. Yang mungkin akan menjadi santapan "infotaiment" pesantren. Maksudnya akan menjadi bahan perbincangan para santri. Bahwa saya adalah salah satu pelanggar disiplin pondok dengan kasus "Berpacaran dengan Santriwati". Wah, mau ditaruh di mana muka saya?

Akhirnya saya sadar bahwa jalan yang saya lalui salah. Saya baru sadar bahwa disiplin yang diterapkan di pesantren semata-mata demi kebaikan para santri. Bahwa melanggar disiplin atau aturan apa saja di muka bumi ini akan membuat sang pelaku tidak tenang. Apalagi yang dilanggar adalah “disiplin” Allah?

***

*) Sepotong kenangan di pesantren sepuluh tahun silam…