00.11

Korban Surat Cinta

Ada satu disiplin bagian keamanan di pesantren yang sangat “ditentang” oleh hampir semua santri. Jika pesantren melarang seluruh santri untuk tidak keluar kompleks pesantren tanpa seizin dari pengurus atau melarang santri merokok yang dapat merugikan kesehatan dan juga kanker alias kantong kering, itu mungkin bisa dipatuhi oleh santri walau masih banyak yang secara sembunyi-sembunyi melanggar disiplin ini. Misalkan untuk merokok mereka mencari tempat “aman” untuk mengisap benda penuh nikotin tersebut. Meskipun mereka harus siap menerima sanksi jika mereka tertangkap basah oleh “pihak berwajib” pesantren.

Tapi disiplin yang satu ini sungguh telah membuat santri merasa terganggu kerena masalah privacy-nya telah di-handle pihak pesantren. Emangnya disiplin apa? Pesantren melarang santri berhubungan lain jenis atau PACARAN. Disiplin inilah yang membuat para santri seperti kehilangan jenggot ketika pihak bagian keamanan merampas photo cewek atau surat cinta para santri yang mempunyai hubungan khusus dengan kaum Hawa.

Alasan pesantren menegakkan disiplin ini memang logis. Pihak pesantren tidak mau para santri merasa terganggu dengan hal "remeh-temeh" seperti pacaran. Yang akan membuat konsentrasi mereka untuk belajar terganggu. Tapi yang namanya santri tetap saja dalam hati mereka timbul gelegak pemberontakan. Itu wajar, karena rata-rata usia santri sudah memasuki fase remaja atau pubertas. Emangnya kenapa kalau pubertas? Ya, sebagaimana kita ketahui di masa-masa seperti ini para santri—sebagaimana remaja pada umumnya—ingin mencoba sesuatu yang belum pernah mereka alami. Salah satunya adalah “pacaran”. Sehingga tak jarang di usia ini mereka sudah mulai TP alias Tebar Pesona di depan para cewek. Dengan gaya yang tentu maskulin banget.

Ketika duduk di kelas 3 Madrasah Tsanawiyah saya pernah merasakan ada “pemberontakan” yang sama seperti yang dirasakan santri yang lain. Saya merasa tidak terima jika pihak pesantren ikut campur masalah pribadi saya.

Inilah awal di mana saya berani melanggar disiplin bagian keamanan yang jika tertangkap basah maka sanksinya cukup berat. Kalau tidak membaca surat pernyataan di depan santri dan guru-guru, kepala dibotak atau bahkan diskors dari pesantren.

Ceritanya saya “tertarik” pada teman sekelas. Entah, saya juga tidak tahu kenapa perasaan itu muncul ketika pesantren sedang berusaha memberantas tradisi pacaran di pesantren? Saya hanya berpikir mungkin ini hal yang wajar dirasakan oleh remaja seusia saya. Di mana kata para psikolog di usia ini para remaja selalu ingin bereksperimen atau ingin mencoba sesuatu yang baru. Sesuatu yang belum pernah mereka lakoni.

Saya berusaha mencari akal bagaimana supaya bisa mengungkapkan "perasaan aneh" dalam hati ini kepada "sang target". Menyampaikan secara langsung di depannya itu tidak mungkin karena kelas kami waktu itu terpisah. Saya di kelas A sementara dia di kelas B, kelas khusus santri putri kelas III. Saya sudah membayangkan hal yang bukan-bukan. Dengan apa saya akan mengungkapkan perasaan ini? Apa dengan seikat bunga seperti adegan dalam sinetron televisi itu? Ah, sinetron banget!

Akhirnya saya ada ide. Salah satu cara yang aman adalah; saya harus "menyewa" teman untuk menjadi “Mak Comblang”. Saya pikir hanya cara ini yang pas dan dijamin aman. Setelah surat selesai saya buat saya pun mengontrak seorang teman untuk menjadi pak pos yang akan menyerahkan “surat cinta monyet” saya kepada santriwati “inceran” saya.

“Tapi ada biaya prangko-nya, nggak?” kata teman saya menggoda. Prangko yang dimaksud adalah tip atau imbalan buat dia yang sudah nekat kuncluk-kuncluk ke kelas putri dengan alasan meminjam buku atau alasan yang lainnya. Itu sih urusan teman saya. Yang penting surat saya sampai ke tangan si doi.

“Tenang saja, Bro. Yang penting sukses ente bakal saya traktir di kantin.” Iming-iming saya pada teman yang PEDE melangkah ke kelas putri itu.

Dan beres! Surat sudah di tangan si doi. So, tinggal bagaimana menunggu reaksinya setelah membaca surat saya itu.

Dengan perasaan yang tidak tenang saya dengan sabar menunggu surat balasan dari dia. Satu hari. Dua hari. Tiga hari. Surat balasan yang saya tunggu tidak kunjung datang. Apa dia menolak saya? Tapi paling nggak kan surat saya dibalas supaya saya tidak penasaran seperti ini. Saya mulai bingung dan pusing sendiri. Berbagai macam pikiran mulai berseliweran dalam benak saya. Apa surat itu ketangkep bagian keamanan putri? Ah, nggak! Itu tidak mungkin. Saya berusaha membuang jauh-jauh perasaan khawatir dari hati saya.

***

Beberapa hari setelah surat saya tak kunjung dibalas. Pagi-pagi benar setelah pengajian kitab kuning saya mulai siap-siap dengan aktifitas pesantren. Saya waktu itu sudah hendak ke kamar mandi lengkap dengan peralatan mandi di tangan ketika salah seorang teman dari kamar sebelah datang.

“Kamu dipanggil Ustadz Bahri di kantor, sekarang….” Ujar teman saya seraya kembali ke kamarnya. Ustadz Bahri? Itu kan wali kelas saya? Ada apa pagi-pagi memanggil saya?

Saya langsung ganti baju resmi lengkap dengan sarung dan peci. Dengan sedikit perasaan dag-dig-dug saya berangkat untuk menemui wali kelas saya di kantor. Saya baru saja menjejakkan kaki tepat di serambi kantor ketika pandangan saya bersirobok dengan seorang santri putri di dalam kantor. Di dekatnya ada seorang Ustadzah. Ada apa ya? Kok perasaaan saya jadi tidak tenang seperti ini?

“Kamu tahu kenapa saya panggil?” Tanya Ustadz dengan gaya wibawanya.

Afwan, saya tidak tahu.”

Suasana hening sejenak. Saya hanya mampu menekuri ubin kantor dengan perasaan was-was.

“Kamu benar pernah mengirim surat ke salah seorang santri putri?”

DEGG!!!

Saya seperti disambar petir di siang bolong. Saya hanya menunduk mendengar pertanyaan Ustadz dengan suara datarnya itu. Surat itu? Ah, mati aku!

“Kok diam?”

“Hm…hm… benar, Ustadz….” Saya mulai gugup. Saya tiba-tiba saja seperti mengidap penyakit gagap. Tidak mungkin saya berbohong karena jika saya berbohong masalahnya akan semakin runyam. Biar saja lah mungkin memang sudah nasib saya.

“Kamu tahu kalau ini dilarang di pesantren? Kau juga tahu apa hukuman bagi santri yang melanggar disiplin ini?”

Lagi-lagi saya menunduk sambil sesekali mengangguk.

“Karena ini adalah surat perdana kamu dan belum terbukti kalau kamu mempunyai hubungan khusus dengan santri putri. Maka sanksinya adalah; kamu cukup membuat surat pernyataan kepada direktur pesantren. Tanpa dibacakan di depan para santri….”

Beberapa saat kemudian saya diijinkan keluar. Alhamdulillah. Saya bersyukur karena sanksinya tidak begitu berat. Saya sudah membayangkan rambut di kepala saya akan hilang. Tapi ternyata? Ustadz memberi keringanan. Di mana kasus ini tidak akan tersebar ke seantero pesantren karena saya hanya membuat pernyataan kepada direktur tanpa membacakannya di depan para santri. Yang mungkin akan menjadi santapan "infotaiment" pesantren. Maksudnya akan menjadi bahan perbincangan para santri. Bahwa saya adalah salah satu pelanggar disiplin pondok dengan kasus "Berpacaran dengan Santriwati". Wah, mau ditaruh di mana muka saya?

Akhirnya saya sadar bahwa jalan yang saya lalui salah. Saya baru sadar bahwa disiplin yang diterapkan di pesantren semata-mata demi kebaikan para santri. Bahwa melanggar disiplin atau aturan apa saja di muka bumi ini akan membuat sang pelaku tidak tenang. Apalagi yang dilanggar adalah “disiplin” Allah?

***

*) Sepotong kenangan di pesantren sepuluh tahun silam…

0 komentar: