Tapi disiplin yang satu ini sungguh telah membuat santri merasa terganggu kerena masalah privacy-nya telah di-handle pihak pesantren. Emangnya disiplin apa? Pesantren melarang santri berhubungan lain jenis atau PACARAN. Disiplin inilah yang membuat para santri seperti kehilangan jenggot ketika pihak bagian keamanan merampas photo cewek atau
Alasan pesantren menegakkan disiplin ini memang logis. Pihak pesantren tidak mau para santri merasa terganggu dengan hal "remeh-temeh" seperti pacaran. Yang akan membuat konsentrasi mereka untuk belajar terganggu. Tapi yang namanya santri tetap saja dalam hati mereka timbul gelegak pemberontakan. Itu wajar, karena rata-rata usia santri sudah memasuki fase remaja atau pubertas. Emangnya kenapa kalau pubertas? Ya, sebagaimana kita ketahui di masa-masa seperti ini para santri—sebagaimana remaja pada umumnya—ingin mencoba sesuatu yang belum pernah mereka alami. Salah satunya adalah “pacaran”. Sehingga tak jarang di usia ini mereka sudah mulai TP alias Tebar Pesona di depan para cewek. Dengan
Ketika duduk di kelas 3 Madrasah Tsanawiyah saya pernah merasakan ada “pemberontakan” yang sama seperti yang dirasakan santri yang lain. Saya merasa tidak terima jika pihak pesantren ikut campur masalah pribadi saya.
Inilah awal di mana saya berani melanggar disiplin bagian keamanan yang jika tertangkap basah maka sanksinya cukup berat. Kalau tidak membaca
Ceritanya saya “tertarik” pada teman sekelas. Entah, saya juga tidak tahu kenapa perasaan itu muncul ketika pesantren sedang berusaha memberantas tradisi pacaran di pesantren? Saya hanya berpikir mungkin ini hal yang wajar dirasakan oleh remaja seusia saya. Di mana kata para psikolog di usia ini para remaja selalu ingin bereksperimen atau ingin mencoba sesuatu yang baru. Sesuatu yang belum pernah mereka lakoni.
Saya berusaha mencari akal bagaimana supaya bisa mengungkapkan "perasaan aneh" dalam hati ini kepada "sang target". Menyampaikan secara langsung di depannya itu tidak mungkin karena kelas kami waktu itu terpisah. Saya di kelas A sementara dia di kelas B, kelas khusus santri putri kelas III. Saya sudah membayangkan hal yang bukan-bukan. Dengan apa saya akan mengungkapkan perasaan ini? Apa dengan seikat bunga seperti adegan dalam sinetron televisi itu? Ah, sinetron banget!
Akhirnya saya ada ide. Salah satu cara yang aman adalah; saya harus "menyewa" teman untuk menjadi “Mak Comblang”. Saya pikir hanya cara ini yang pas dan dijamin aman. Setelah surat selesai saya buat saya pun mengontrak seorang teman untuk menjadi pak pos yang akan menyerahkan “surat cinta monyet” saya kepada santriwati “inceran” saya.
“Tapi ada biaya prangko-nya, nggak?” kata teman saya menggoda. Prangko yang dimaksud adalah tip atau imbalan buat dia yang sudah nekat kuncluk-kuncluk ke kelas putri dengan alasan meminjam buku atau alasan yang lainnya. Itu sih urusan teman saya. Yang penting
“Tenang saja, Bro. Yang penting sukses ente bakal saya traktir di kantin.” Iming-iming saya pada teman yang PEDE melangkah ke kelas putri itu.
Dan beres!
Dengan perasaan yang tidak tenang saya dengan sabar menunggu
***
Beberapa hari setelah
“Kamu dipanggil Ustadz Bahri di kantor, sekarang….” Ujar teman saya seraya kembali ke kamarnya. Ustadz Bahri? Itu
Saya langsung ganti baju resmi lengkap dengan sarung dan peci. Dengan sedikit perasaan dag-dig-dug saya berangkat untuk menemui wali kelas saya di kantor. Saya baru saja menjejakkan kaki tepat di serambi kantor ketika pandangan saya bersirobok dengan seorang santri putri di dalam kantor. Di dekatnya ada seorang Ustadzah.
“Kamu tahu kenapa saya panggil?” Tanya Ustadz dengan
“Afwan, saya tidak tahu.”
Suasana hening sejenak. Saya hanya mampu menekuri ubin kantor dengan perasaan was-was.
“Kamu benar pernah mengirim
DEGG!!!
Saya seperti disambar petir di siang bolong. Saya hanya menunduk mendengar pertanyaan Ustadz dengan suara datarnya itu.
“Kok diam?”
“Hm…hm… benar, Ustadz….” Saya mulai gugup. Saya tiba-tiba saja seperti mengidap penyakit gagap. Tidak mungkin saya berbohong karena jika saya berbohong masalahnya akan semakin runyam. Biar saja lah mungkin memang sudah nasib saya.
“Kamu tahu kalau ini dilarang di pesantren? Kau juga tahu apa hukuman bagi santri yang melanggar disiplin ini?”
Lagi-lagi saya menunduk sambil sesekali mengangguk.
“Karena ini adalah
Beberapa saat kemudian saya diijinkan keluar. Alhamdulillah. Saya bersyukur karena sanksinya tidak begitu berat. Saya sudah membayangkan rambut di kepala saya akan hilang. Tapi ternyata? Ustadz memberi keringanan. Di mana kasus ini tidak akan tersebar ke seantero pesantren karena saya hanya membuat pernyataan kepada direktur tanpa membacakannya di depan para santri. Yang mungkin akan menjadi santapan "infotaiment" pesantren. Maksudnya akan menjadi bahan perbincangan para santri. Bahwa saya adalah salah satu pelanggar disiplin pondok dengan kasus "Berpacaran dengan Santriwati". Wah, mau ditaruh di mana muka saya?
Akhirnya saya sadar bahwa jalan yang saya lalui salah. Saya baru sadar bahwa disiplin yang diterapkan di pesantren semata-mata demi kebaikan para santri. Bahwa melanggar disiplin atau aturan apa saja di muka bumi ini akan membuat sang pelaku tidak tenang. Apalagi yang dilanggar adalah “disiplin” Allah?
***
*) Sepotong kenangan di pesantren sepuluh tahun silam…
0 komentar:
Posting Komentar