01.29

Santri Jatuh Cinta

Saya termasuk orang yang cukup lama hidup di pesantren. Hampir dua belas tahun saya menikmati "asam garam pesantren" di lembaga pendidikan Islam tradisional ini. Enam tahun sebagai santri dan hampir enam tahun sebagai Murabbi (pendidik).

Berbagai macam peristiwa saya saksikan bahkan saya alami sendiri di tempat yang kata sebagian teman tak ubahnya "penjara" ini. Dari pelanggaran-pelanggaran disiplin sampai pembangkangan seorang santri terhadap seorang Ustadz. Semua saya rekam dan saya catat hingga saat ini.

Dan ketika saya selama lima tahun terakhir diberi tanggung jawab untuk mengajar dan mendidik para santri, saya baru menyadari betapa beratnya jadi seorang pendidik. Guru, Ustadz atau apalah namanya adalah sosok yang digugu dan ditiru. Mereka adalah teladan dan panutan bagi murid-muridnya. Saya setuju dengan sebuah ungkapan yang menyatakan: "Guru kencing berdiri, murid kencing berlari." Maksudnya, seorang murid tidak hanya akan meniru perilaku buruk guru, tapi mereka bisa melakukan sesuatu yang jauh lebih buruk dari perilaku seorang guru.

Sekitar lima atau sepuluh menit menjelang pergantian jam pelajaran, saya biasa membuka "dialog ringan" dengan anak-anak didik saya. Dari masalah dunia Islam sampai masalah remaja yang sedang populer. Namun yang membuat suasana kelas semakin "hidup" adalah ketika kami membahas masalah lima huruf yang tak pernah ada habisnya. C-I-N-T-A. Ya, masalah ini selalu menjadi topik hangat dan menarik untuk didiskusikan. Hingga pada suatu ketika sebuah pertanyaan meluncur mulus dari mulut seorang santriwati. Sebuah pertanyaan yang menohok dan jujur sempat membuat hati saya "kebat-kebit".

"Ada tidak Ustadz yang pacaran?"

Untuk beberapa detik saya tertegun. Sampai sebuah pertanyaan lain menyusul.

"Kalau tidak pacaran, mana mungkin Ustadz Fulan dengan Ustadzah Fulanah bisa menikah?"

Dua pertanyaan itu sama sekali di luar dugaan saya. Baru kali ini ada seorang santri yang berani menanyakan sesuatu yang dianggap “tabu”. Sebuah pertanyaan yang menguji nyali kejujuran saya.

Akhirnya saya coba menjawab pertanyaan “cerdas” itu. Saya jelaskan, bahwa saya--termasuk Ustadz yang lainnya--sebagai manusia biasa pasti pernah merasakan ada pendar-pendar cinta dalam hati saya. Sebuah rasa yang dengan sendirinya hadir tanpa seorang pun yang menyuruhnya. Apalagi selama saya menjadi santri interaksi antara santri dan santriwati waktu itu cukup rentan akan terjadinya “hubungan” sebagaimana yang terjadi pada remaja di luar pesantren (waktu itu kelas putra dan putri masih digabung).

Bagaimana pun, santri juga manusia. Allah juga menganugerahkan cinta kepada mereka. Perasaan yang alami dan manusiawi. Namun, dilarangnya berpacaran di pesantren sama sekali bukan untuk “mengebiri” atau membunuh perasaan cinta dalam hati para santri. Tapi semata-mata untuk menyelamatkan mereka agar tidak terperangkap dalam "jaring-jaring cinta" yang bisa menghancurkan masa depan mereka, jika mereka menyalurkan perasaan fitrah itu bukan pada tempat dan waktunya. Bukankah sekolah dan pesantren tempat mereka belajar, bukan tempat berpacaran?

Nah, tugas seorang Murabbi lah untuk menyelamatkan mereka agar tidak pernah diperbudak cinta. Agar “virus merah jambu” itu tidak menyebar ke lingkungan pesantren. Jadi, jangan harap santri tidak pacaran kalau guru/Ustadz-nya sendiri masih belum bisa menjaga hati mereka. Wallahu a'lam.

***

Sumenep, Januari 2008

0 komentar: