01.38

Nikah Dini; Katanya Sih Keren?

Saya pernah menjadi konsumen berat buku-buku dengan tema pernikahan. Buku-buku yang mengupas tuntas seluk beluk kehidupan rumah tangga itu menjadi “makanan empuk” saya selama beberapa minggu. Entah itu saya pinjam dari perpustakaan pesantren, pinjam dari teman atau saya beli sendiri di toko buku ‘Mutiara Ilmu’ langganan saya. Anehnya saya tidak pernah bosan. Semakin banyak saya “lahap” buku-buku itu saya justru semakin “lapar” dengan buku-buku sejenis. Dari buku Indahnya Pernikahan Dini-nya Moh. Fauzil Adhim sampai buku Ini Rumah Kita, Sayang-nya Gola Gong-Tyas Tatanka atau Ini Wajah Cintaku, Honey-nya Tasaro. Padahal selama ini buku yang saya baca tidak jauh dari seputar tema tulis menulis. Buku-buku sastra baik itu novel atau kumpulan cerpennya rekan-rekan Forum Lingkar Pena (FLP) yang pernah booming beberapa tahun yang lalu itu.

Ada apa dengan saya? Apakah memang sudah saatnya saya untuk mempersiapkan diri untuk melangkah menuju mahligai kehidupan rumah tangga yang kata sebagian teman--yang sudah menikah--penuh dengan dinamika dan problem yang tak jarang membuat oleng biduk rumah tangga yang mereka kayuh?

Saya pun merasa “terprovokasi” untuk menikah dini apalagi setelah membaca buku Nikah Dini Keren-nya Haekal Siregar. Memoar yang mengisahkan kehidupan rumah tangga sang penulis dan istrinya itu pernah membuat saya terobsesi untuk menikah dini seperti yang dialami beberapa teman seangkatan saya di pesantren. Saya jadi membayangkan seperti apa sih nikmatnya nikah dini yang mereka gembar-gemborkan itu? Padahal asli saya belum memiliki persiapan apa-apa untuk melangkah ke sana. Mental apalagi secara finansial yang jelas membutuhkan perjuangan ekstra bagi calon pemimpin rumah tangga. Seorang nahkoda yang bakal mengendalikan laju biduk rumah tangga bersama sang belahan jiwa. Bagaimana kita mau menafkahi istri kalau kondisi materi kita saja “acakadut”? Walaupun masalah rejeki itu urusan Allah tapi kita tetap punya andil untuk berusaha menjaring rejeki yang telah dipersiapkan oleh-Nya. Tidak bisa kalau kita hanya berpangku tangan mengharap ada segepok emas jatuh di depan kita.

Masalah nikah dini sebenarnya bukan hal yang baru. Pada jaman Bapak-Ibu kita dulu masalah nikah dini sudah menjadi hal yang lumrah. Coba kita tanya Bapak atau Ibu kita; di usia berapa mereka menikah? Mereka banyak yang menikah di usia yang masih relatif muda. Padahal dari segi materi mereka masih “nebeng” pada orang tua. Bukan berarti mereka tidak siap mandiri. Tapi orang tua mereka dulu belum berani melepas anak mereka untuk total pisah dengan orang tua. Apalagi menantu mereka masih belum "mapan" secara ekonomi. Walaupun secara secara tidak langsung mereka mendidik anaknya untuk hidup mandiri dengan memberikan mereka jalan untuk mencari nafkah. Untuk siap memeras keringat demi kelangsungan hidup keluarga mereka.

Tapi walaupun masih hidup di pondok mertua indah, mereka tetap optimis melangkah, mengarungi bahtera kehidupan rumah tangga meskipun tak jarang badai datang menghadang dan siap menghantam mereka.

Bicara masalah nikah, saya jadi ingat waktu Bapak dan Ibu sering “nagih janji” kapan saya mau menikah. Kapan saya bisa membawa ke hadapan mereka calon menantu yang tentu akan menyempurnakan kebahagian mereka sebagai orang tua. Karena saya bungsu dan kakak-kakak saya sudah menggenapkan separuh dien mreka.

Saya hanya tersenyum simpul setiap mereka membahas masalah kapan saya nikah. Sambil saya coba berargumen untuk sekadar berkelit dari pertanyaan mereka.

“Saya masih belum punya pekerjaan tetap, Pak. Jadi tenang sajalah. Bapak nggak usah khawatir. Bagaimana nanti saya mau menafkahi istri kalau hidup sendirian saja masih luntang-lantung seperti ini?” Itu senjata saya untuk “melawan” serangan yang bapak lancarkan. Walaupun terdengar sangat klise. Karena itu adalah alasan umum kenapa seorang laki-laki bimbang menikah. Tapi mau bagaimana lagi? Saya sudah “bosan” dengan topik masalah yang mereka bahas setiap saya pulang ke rumah.

“Kalau kamu nunggu sampe kamu atau bapak kaya, mungkin sampe tua pun kamu nggak bakalan nikah!” Jawab Bapak singkat. Santai tapi tegas. Namun sanggup membuat dada saya bergemuruh dan pikiran saya tidak tenang. Jika dipikir-pikir apa yang beliau katakan benar juga. Beliau termasuk jajaran pemuda desa yang menikah dini karena saat menikah dulu usianya masih belum genap dua puluh tahun. Tapi beliau tetap bisa menafkahi istri dan anak-anak beliau meskipun dengan perjuangan dan perngorbanan yang sangat melelahkan. Sementara umur saya sekarang berapa? Dari segi usia mungkin sudah waktunya. Tapi saya punya alasan sendiri kenapa saya menunda waktu menikah. Saya masih belum siap lahir batin untuk menyempurnakan separuh agama saya. Saya yakin Allah juga berperan penting dalam masalah saya ini.

Walaupun saya sadar, mungkin saya saja yang terlalu ‘parno’ alias paranoid. Takut kelak tidak bisa menafkahi anak orang jika saya memutuskan untuk menikah. Padahal apa bisa saya? Bukankah yang mengatur semua laju kehidupan dunia ini hanya Allah? Kita tidak bisa memprediksi apa yang bakal terjadi besok. Karena masalah rejeki, kematian dan jodoh adalah hak prerogatif Allah. Sebagai hamba-Nya kita hanya dituntut untuk berusaha. Itu saja! Wallahu a’lamu bis shawab.

***

Kamar Bujang, 25 Februari 2008

0 komentar: